Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Telat Start

Saya pernah mendengar sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa hidup bukanlah perlombaan, jadi tidak perlu merasa tergesa-gesa saat melihat orang lain sudah berada di depanmu. 

Saya lupa di mana tepatnya ungkapan ini saya temukan, entah dalam buku, esai, media sosial, atau kehidupan sehari-hari. 

Namun yang jelas sejak berjumpa dengan ungkapan ini, saya langsung setuju dengannya. 

Hal pertama yang muncul dalam benak saya saat itu adalah bayangan hidup sebagai lomba lari: start-nya sama, finish-nya sama, dan saya sebisa mungkin harus mendahului musuh agar menjadi yang pertama kali sampai di garis finish. 

Tentu saja ini sebuah perumpamaan. Kamu boleh mengganti "garis finish" dengan "kesuksesan hidup", "kebebasan finansial", "menikah di usia muda", "menjadi bos", "mempunyai gaji yang besar", dan lain sebagainya, suka-suka kamu saja. 

Setelah bayangan itu muncul lalu saya berpikir kok rasanya hidup yang seperti itu melelahkan sekali. Kemudian saya merenung, berpikir, dan mencari jawaban yang bisa menghapus bayangan itu. 

Istilah kerennya: berkontemplasi. Habis mau gimana lagi, saya memang tidak menyukai perlombaan sejak kecil. 

Tapi kok rasanya orang-orang di sekitar saya mengamini hidup adalah perlombaan. 

Beberapa teman mengeluh karena belum lulus kuliah di usia 23 tahun, beberapa lainnya mengeluh karena nganggur lebih dari satu tahun. 

Seorang teman mengeluh karena "ditarik kawin" pacarnya; yang lainnya lagi mati-matian mengejar materi agar bisa kawin di usia 25 tahun. 

Saya, dengan sadar dan sengaja, menarik diri dari perlombaan itu dan bertanya-tanya "mau pada ke mana, sih?" 

Padahal sudah jelas ada banyak faktor yang menentukan titik start seseorang dalam menjalani hidup atau privilese. 

Kamu punya orang tua yang kaya, itu privilese; kamu punya teman-teman yang mendukungmu, itu privilese; kamu punya keluarga yang mengerti dirimu sepenuhnya, itu juga privilese; dan masih banyak lagi. 

Ini mungkin akan jadi daftar yang sangat panjang jika saya tulis satu-satu, namun yang jelas privilese itu nyata adanya. 

Sekarang, bagaimana mungkin peserta lomba harus mencapai garis finish yang sama jika titik start-nya berbeda? Sudah jelas dong, yang start paling depan jadi juaranya. 

Itu yang terjadi dalam kehidupan orang lain. Saya sendiri beda lagi ceritanya. Bisa dikatakan saya adalah orang-orang yang berdiri di jajaran paling belakang di titik start alias paling jauh ke garis finish. 

Jadi biar sampai bareng dengan orang lain saya harus kerja keras bagai kuda, banting tulang, kalau perlu sampai mengeluarkan keringat darah. Tapi saya entah kenapa justru lebih memilih jalan kaki. 

Ketika orang lain berlari maju, saya dengan tenang maju selangkah demi selangkah sambil memperhatikan perjuangan orang lain. 

Kadang jika ada yang kebetulan sedang beristirahat dengan jalan kaki pun saya temani malah. Ini saya lakukan sejak mulai masuk kuliah. 

Saat itu beberapa teman sudah mulai berlari kencang, meski harus terjatuh tapi mereka tetap maju. Saya ikut bangga dan senang dengan hal itu. 

Sampai pada akhirnya saya merasa sudah waktunya saya untuk berlari. 

Namun, saat perasaan itu muncul ternyata banyak sekali orang yang sudah hampi mencapai garis finish. 

Gak bisa dimungkiri, ini membuat saya sempat terpuruk dan merasa gagal menjadi seorang manusia. 

Sialnya perasaan ini muncul bukan sekali atau dua kali, tapi lumayan sering. 

Perasaan ini terus menghantui sampai saya akhirnya sadar bahwa apa yang terjadi adalah sebuah kewajaran belaka. 

Karena toh sejak awal saya memang tidak berlari seperti orang lain, saya tidak melesat cepat sejak garis start; singkatnya saya itu telat start. 

Nasi sudah jadi bubur, kehidupan tetap berlanjut entah saya terpuruk atau tidak. Dan pada akhirnya saya memilih satu jalan keluar: berlari meski telat start! 

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.