Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

When You're Gone #5: Broke Up


Selama sepuluh tahun bersama, seingatku kita pernah putus lima kali. Dari semuanya, yang paling sulit aku lupakan adalah yang pertama dan terakhir. 

Pertama kali putus, kita masih bocah SMP yang cintanya—seharusnya—sekadar cinta monyet. Bagi remaja seusia kita, putus biasanya menjadi langkah buat memulai hubungan yang baru. Tapi buatku tidak berlaku seperti itu. 

Sejak awal aku selalu menginginkan kita bersama selama mungkin. Bila perlu sampai menikah dan salah satu dari kita pergi lebih dulu. Kamu ingat dulu sekali, aku pernah bilang tidak akan memutuskanmu lebih dulu kan? 

Saat itu aku berpikir bahwa jika aku harus memutuskanmu, maka aku tidak boleh memintamu kembali. Biar bagaimanapun, aku yang menginginkan kita berpisah, jadi seharusnya setelah putus aku tidak menyesal dan mengajak balikan. 

Lain halnya jika kamu yang meminta kita putus. Aku akan berusaha sekuat mungkin agar kamu kembali. Dan putus yang pertama, kamu yang memintanya. 

Dulu aku memang terlalu posesif dan mengekangmu. Aku menuntut waktumu lebih banyak dari yang seharusnya. Aku menginginkanmu hanya ada untuk ku. Maka saat kamu sedang sibuk oleh urusan ekskul di sekolah, aku sering marah dan uring-uringan. Kamu jelas lelah dengan sikapku saat itu, ya kan? Sampai akhirnya kamu mengucap kata putus. 

Aku masih ingat dengan jelas, kamu sedang sibuk acara pagelaran. Sekitar bulan Desember, selepas magrib, kamu mengucap kata putus lewat sms. Tak pikir panjang, saat itu aku menyusulmu ke sekolah dan tak menemukanmu. 

Tak ada penjelasan atau obrolan lebih lanjut setelah kita putus. Sekitar satu minggu setelahnya, aku mendengarmu sudah menjalin hubungan baru dengan teman sekelasmu. 

Perasaan sakit ini tidak pernah bisa aku lupakan, bahkan saat menulis ini, aku masih bisa merasakan sakitnya. 

Mungkin benar kata orang, memaafkan tidak berarti melupakan. Aku bisa memaafkanmu tapi aku tidak bisa melupakan kejadian itu. Pikiranku saat itu selalu dipenuhi ketakutan. 

Aku takut kamu disakiti olehnya, aku takut kamu tidak bisa bahagia, aku takut kamu dipermainkan, aku takut dia tidak menyayangi dan mencintaimu sepertiku. 

Dan memang begitu yang terjadi. Beberapa minggu berikutnya, kamu kembali dengan perasaan yang sakit, dengan tangisan. Kamu merasa dibuang olehnya. Aku marah dan aku menyambutmu kembali. 

Pengalaman itu membuatku lebih berhati-hati. Aku tidak ingin kita putus, aku juga tidak ingin menyakitimu, aku tidak ingin membuangmu. 

Aku tidak sanggup melihatmu menangis dan tersakiti. Sepuluh tahun kemudian, putus yang terakhir ini, justru akulah yang menyakitimu, membuangmu, dan membuatmu menangis. 

Aku tidak membuangmu, tapi aku yakin, kamu merasa seperti itu. Aku tau kamu merasa tidak diperjuangkan seperti orang lain. Aku tau kamu menyalahkanku, aku menerimanya. Karena itu, aku mengakhiri hubungan panjang kita. 

Tapi aku tidak mau kita berakhir dengan amarah dan emosi. Aku tidak ingin kita berakhir dengan tidak baik-baik. Biar bagaimanapun, kita memulai hubungan ini dengan baik-baik, kan? 

Aku ingin kita menyelesaikan yang harus diselesaikan, aku ingin membicarakan apa yang harus dibicarakan. 

Di pertemuan kita yang terakhir, aku berusaha menyadarkanmu, aku ingin kamu melihat kenyataan, aku ingin kamu mengerti, aku menjadi egois. 

Saat itu, kupikir semuanya akan kembali menjadi baik jika kamu bisa mengerti semua rencanaku. 

Ajaibnya, ternyata dari awal kamu sudah mengerti dan kamu sedang menghadapi kenyataan itu sendiri. Sayangnya, jalan keluar yang kita ambil berbeda. Saat aku tau dan melihat matamu yang yakin itu, kupikir kita memang harus berpisah. 

Di pertemuan terakhir kita, aku melihatmu menangis sekali lagi dan aku tidak bisa menghentikannya. Maaf, kita harus berakhir seperti ini. 

Tapi setidaknya, kita mengakhirinya dengan baik-baik dan menyelesaikan semuanya. 

Selamat malam, semoga malam ini aku memimpikanmu.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.