Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

When You're Gone #6: The regrets and gratitude

regrets

 Halo, Neng.

Hari ini aku tidur pukul 7 pagi, mungkin gara-gara pilek atau mungkin juga karena terlalu banyak minum saat sahur.

Neng, kamu mungkin satu-satunya wanita yang mau menerimaku benar-benar apa adanya. Sejak awal kita bersama, kamu mau berusaha menerima semua kekuranganku. Termasuk kekurangan ekonomi yang sejak dulu aku miliki ini. 

Mungkin kamu tidak sadar bahwa kita berbeda. Kamu—atau keluargamu—itu orang-orang kelas menengah yang gaya hidupnya tidak bisa sama denganku. Selama sepuluh tahun ini, aku bersyukur dan berterima kasih karena kamu tidak pernah meminta banyak hal dariku. 

Jika diingat lagi, rasanya aku gagal jadi laki-laki yang mampu membahagiakanmu secara materi.

Sejak kecil aku tidak biasa dengan hadiah. Waktu SD dulu, banyak temanku yang merayakan ulang tahunnya di sekolah. Aku mendapatkan bingkisan berisi makanan saat ada acara seperti itu. 

Teman-temanku yang lain—yang tidak berulang tahun—akan memberikan hadiah pada yang ulang tahun esok harinya. Aku yang masih polos saat itu, berpikir itu bukan kewajiban karena kakak-kakak ku tidak menyuruhku memberikan hadiah. 

Teman-teman di sekitar rumahku juga begitu. Bedanya, jika tetanggaku ada yang berulang tahun, kakak akan menyuruhku membeli sabun atau sikat gigi ke warung sebagai hadiah ulang tahun.

Kebiasaan ini masih ada padaku sampai sekarang. Aku ingin memberi alasan “tidak punya uang” untuk ini, tapi nyatanya, jika aku mau aku bisa saja menyisihkan sedikit rezekiku buat orang-orang special sepertimu. 

Toh, kamu sendiri tidak pernah meminta aku memberikan barang yang mahal untukmu, kan? Aku ingat kamu sudah sangat bahagia saat aku membelikan boneka seharga lima puluh ribu untukmu. Saking bahagianya, kamu terus menyimpannya sampai kuliah. 

Bukan aku tidak mau memberi hadiah lain buatmu, hanya saja kupikir kita bisa berbahagia tanpa pemberian seperti itu. Malah, seingatku, kamu lebih sering memberiku barang—jaket, baju, parfum, pencuci muka, dsb.

Menyedihkan, ya?

Kamu memang wanita yang baik, Neng. Terima kasih untuk itu.

Kemarin aku sengaja melihat album foto di facebook untuk melihat kembali foto-foto kita berdua. Dulu, kita pernah pacaran di rumahmu, lalu wefie, dan mengunggahnya ke facebook, kan? 

Rasanya, itu jadi wefie kita yang paling membekas di ingatanku. Selebihnya, kita tidak pernah melakukannya lagi karena aku yang memang tidak suka menampakan muka di kamera.

Aku egois, ya? 

Seharusnya aku bisa mengesampingkan alasan remeh seperti itu untuk membahagiakanmu. Aku juga seharusnya bisa menahan pengeluaranku agar bisa memberikanmu hadiah. Lucunya, aku baru menyadari ini setelah kita benar-benar berpisah. 

Dulu, aku selalu percaya kamu sudah bahagia dengan hubungan kita. Aku selalu percaya bahwa kamu tidak akan meminta lebih dariku. Rasanya, frasa “menerima apa adanya” bisa menjadi racun yang mematikan jika terlalu lama dikonsumsi.

Setelah kupikir lagi sekarang, rasanya aku memang terlalu egois untukmu. Dan mungkin Tuhan tau tentang ini, karena itu Dia memisahkan kita.

Aku dengan mudahnya memintamu menunggu lebih lama lagi karena aku ingin mengejar mimpi-mimpiku yang baru muncul di usia 25 tahun. Aku ingin kamu menungguku menjadi lebih baik dengan tempo yang sangat pelan ini. 

Kadang aku sempat bersyukur kita berpisah, Neng. Biar bagaimanapun kamu sudah mengorbankan banyak hal untuk hubungan kita. Lebih  banyak dari yang bisa aku berikan untukmu. Mungkin Tuhan merasa sudah cukup pengorbanan yang kamu lakukan. 

Sekarang waktunya kamu mencari dan menemukan laki-laki yang mau berkorban untukmu. Mau memperjuangkanmu dengan nyata, dengan sungguh-sungguh menjadikanmu tujuan akhir hidupnya.

Kurasa aku sudah sedikit lebih baik sekarang, Neng, walaupun aku masih (akan) merindukanmu.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.