Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Tolong Bantu Aku Untuk Tidak Membencimu

2 bulan lalu, tepatnya saat hari Kartini aku menulis kalimat seperti ini untuk kita:

Mungkin Tuhan merasa sudah cukup pengorbanan yang kamu lakukan. Sekarang waktunya kamu mencari dan menemukan laki-laki yang mau berkorban untukmu. Mau memperjuangkanmu dengan nyata, dengan sungguh-sungguh menjadikanmu tujuan akhir hidupnya.

Seingatku, kalimat itu muncul setelah aku mulai bisa berdamai dengan perpisahan kita. 

Aku benar-benar memikirkan bahwa kamu terlalu baik untuk ku, terlalu banyak yang kamu korbankan, dan Tuhan ingin kamu mendapatkan laki-laki yang memperjuangkanmu.

Bisa kah aku berpikir seperti itu lagi? 

Semoga dan harus bisa. Move on itu sulit, kita tahu itu. Tapi hadiah ketenangan setelah move on rupanya tak membuat kita tergoda. 

Kita lebih senang memberi makan ego kita sendiri. Salah satunya ya mengeluarkan perasaan rindu yang menyesakkan itu. 

Padahal kita juga sadar, akibat dari ego itu hanyalah rasa sakit. Kita—atau aku—harus mengulang kembali proses move on yang sudah hampir selesai kemarin.

Ada yang mengatakan bahwa hidup bukan berarti semuanya akan menjadi indah, kadang hidup diisi oleh duri sepenuhnya. 

Jika sudah begitu, katanya, jadikan pelajaran dan cari hikmahnya. 

Kadang saat hidup sedang begitu, kita harus bisa mencari tau apa yang sedang Dia tunjukan. Setelah itu, bergerak sesuai dengan yang kita lihat.

Kebodohan kita kemarin, tentu ada maksud lain yang ingin Dia perlihatkan. Yang terpikirkan olehku saat ini adalah kita tidak bisa bersama dan aku yang terlalu memaksakan semuanya. Mungkin.

Aku menulis draft pertama tulisan ini dengan curahan hati dan kesakitan yang kualami. Setelah perpisahan terakhir kita, aku putuskan untuk mengubahnya.

Tentang apa yang Dia tunjukan dari kebodohan kita, kupikir aku mulai menemukannya. Kupikir Dia sedang menunjukan bahwa aku hanyalah sebutir debu di antara kerikil besar. 

Bahasa inteleknya, aku adalah kelas bawah yang hidup di antara kelas menengah ke atas. Aku menaikan standarku sendiri.

Perpisahan terakhir kita, sedikit banyak meninggalkan trauma dan asumsi buruk tentangmu. Aku minta maaf untuk itu. 

Tapi sekeras apa pun aku berusaha, asumsi ini tidak mau menghilang. Aku mencoba menghubungkan jawaban, sikap, alasan, dan pendirianmu. Jawaban yang kutemukan adalah:

Tidak ada yang bisa kamu dapatkan dariku.

Maaf aku berpikir keputusanmu yang dulu sangat dipengaruhi oleh teman-temanmu. Maaf, aku juga berpikir alasanmu yang dulu bukan alasan sebenarnya. 

Maaf, aku berpikir bahwa kamu hanya tidak ingin terlihat mengasihaniku. Aku minta maaf dan kuharap semua asumsi ini tidak benar. 

Aku berharap ini hanya emosi sesaat. Aku berharap Dia memperlihatkan alasanmu yang sebenarnya.

Jika boleh aku egois sekali lagi, tolong bantu aku untuk tidak membencimu. Aku tidak mau hubungan yang kita bangun dengan baik-baik berakhir dengan buruk. 

Bantu aku untuk tidak membencimu, aku mohon.

Kupikir mencintaimu saat ini hanya akan menyakitiku saja, tapi rasanya membencimu jauh lebih menyakitkan. Kamu adalah wanita yang mau mencoba berbahagia bersamaku. 

Kamu adalah orang yang membuatku merasa percaya diri.

Kupikir aku tau apa yang temanmu bicarakan padamu, dan kenyataannya memang seperti itu. Aku hidup dengan omongan orang lain yang senada dengan contoh yang kamu ucapkan tadi. 

Aku sudah terbiasa mendengarnya, aku pun sadar akan hal itu.

Tapi kamu, membuatku percaya bahwa laki-laki sepertiku masih pantas untuk hidup seperti laki-laki lain. 

Kamu membuatku yakin, tanpa privilese, hidup akan baik-baik saja.

Terima kasih untuk itu. Sayang, entah sengaja atau tidak, kamu juga yang menyadarkanku bahwa itu semua semu belaka. 

Entah Tuhan sedang bercanda atau tidak, berpisah denganmu nyatanya membuatku sadar bahwa hidupku tidak baik-baik saja.

Sekali lagi, terima kasih untuk itu. Terima kasih juga untuk semuanya. Kupikir, kamu hebat karena bisa berjalan dari kita secepat itu. 

Selamat kuucapkan atas keberhasilanmu. Doakan aku baik-baik saja.

Mencintaimu, bersama denganmu, adalah harta terindah yang pernah kumiliki. Biarkan aku merawat kenangan itu, semampuku, sekuatku. 

Tolong, bantu aku agar kenangan itu tidak ditutupi awan gelap kebencian. Kamu, terlalu indah untukku.

I let you free for now and forever.

Kupikir aku akan belajar menyerahkan takdir kita pada-Nya sepenuhnya. Jika kita harus bersama sekali lagi, aku selalu meminta untuk dimudahkan jalannya. 

Jika kita tidak bersama, aku minta tunjukkan secepatnya. Aku akan menunggu kejutan darinya—seperti yang kamu ucapkan.

Tolong, bantu aku agar aku tidak menunggu dengan membencimu.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.