Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Melawan Overthinking Sebisanya, Semampunya, Sebaik-baiknya.

Hari ini, 23 Agustus 2021, genap dua minggu saya bekerja di salah satu perusahaan agensi digital asal Jakarta. Meski baru dua minggu, saya sudah merasakan cukup banyak dinamika seorang pekerja. 

Mulai dari deadline yang rapet, load kerjaan yang cukup banyak, sampai emosi negatif dalam diri yang timbul karena overthinking. Ya, betul, O V E R T H I N K I N G ! ! !

Tak bisa dimungkiri, sebagai freelancer selama 3 tahun belakangan, saya cukup shock dengan perubahan budaya kerja. Dulu, saya bebas menentukan pekerjaan mana yang ingin saya ambil, dan mana yang mau di-skip. 

Sekarang, saya wajib menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan. Bagaimana pun caranya. 

Dulu, saya bisa menentukan kapan akan bekerja. Yang penting saat deadline, pekerjaan sudah selesai dan dikirimkan ke klien. 

Sekarang saya harus bekerja terus sampai pekerjaan benar-benar selesai. Lebih cepat selesai lebih baik, karena artinya saya hanya bekerja sebentar saja. 

Perubahan ini yang kemudian menjadi bibit-bibit overthinking muncul. Bagaimana tidak, setiap mengerjakan tugas yang diberikan atasan, saya selalu merasa gagal mengerjakannya dengan baik. Selalu ada saja yang bikin saya down. 

Entah itu karena kerjaan saya direvisi atau nggak bisa mengejar deadline. 

"duh ini kok aku bego banget ya, tugas ini gak bisa selesai tepat waktu. Tugas yang kemarin tepat waktu, sih, tapi masih direvisi juga. Yakin nih bakal lanjut kerja di sini?" 

Pemikiran seperti ini sering muncul dalam pikiran tanpa bisa saya kontrol sama sekali. 

Kadang saat saya merasa baik-baik saja, pikiran itu muncul. Kadang sebelum tidur, kadang pas bangun tidur. Setelah sholat pun bisa muncul. Mau tidak mau, saya jadi terus meragukan kemampuan diri sendiri.

Jangan pikir saya nggak coba melawan pikiran ini, ya. 

Saya selalu melawan setiap kali dia muncul. Nggak pernah terlewat sekalipun saya meyakinkan diri sendiri bahwa saya bisa, kok. Gapapa kalau nggak becus kerjanya, toh saya baru mulai belajar selama dua minggu ini. 

Lagian atasan juga paham kok saya baru belajar. Dan dia juga supportive banget, kan? Ayo semangat lagi! Belajar lagi makin keras dan jangan nyerah gitu aja!!!

Kalimat-kalimat itu yang jadi pertahanan utama saya dari semua perasaan negatif. Tapi rupanya, itu saja nggak cukup. 

Sekarang saya masih bekerja dari jauh alias WFH karena PPKM belum selesai. Tapi firasat saya mengatakan bahwa setelah PPKM selesai saya harus pergi ke Jakarta dan mulai bekerja di kantor. 

Hidup di Ciamis, kota kelahiran sejak kecil, dan belum ada pengalaman merantau sama sekali, rupanya menimbulkan perasaan takut dan khawatir. 

Saya merasa takut jika harus pergi ke Jakarta. Bisa kah saya beradaptasi dengan Jakarta yang katanya kehidupan di sana super keras? 

Bisa kah saya bertahan dari tekanan pekerjaan dan kehidupan Jakarta secara bersamaan? Kuat kah saya dengan macet nya Ibukota itu?

Saya nggak tahu. 

Dan nggak ada yang tahu. 

Tapi saya bisa mencoba, dan berusaha untuk bertahan sekuat tenaga. Setidaknya sampai masa percobaan saya di kantor ini selesai. 

Masa percobaan, seperti namanya, adalah waktu yang tepat untuk saya mencoba berbagai hal. Termasuk tinggal di Jakarta. 

Nggak ada yang bisa saya lakukan selain minta tolong kepada Tuhan. Minta diberikan kekuatan, kesabaran, dan kemampuan untuk bertahan. Karena siapa lagi yang bisa menolong saya selain Dia, kan?

Kemarin, Selasa 22 Agustus 2021, saya membuka Quora dan menemukan sebuah kalimat. Kata si penjawab, kalimat ini dia temukan di belakang body mobil truk. 

"Jika Tuhan membawamu ke dalam sebuah perjalanan, Dia akan menolongmu sampai akhir." Kurang lebih begini lah kalimatnya.

Sumpah, begitu saya membacanya, saya merasa ditampar. Saya minta Tuhan menolong saya untuk menghadapi semua cobaan dalam pekerjaan ini, tapi di saat yang bersamaan saya juga terus merasa takut dan gagal. Seperti kontradiktif, kan? 

Tapi saya pikir ini juga wajar. Karena saya manusia, bukan malaikat dan perasaan takut juga khawatir merupakan emosi nyata yang saya rasakan. Itu juga menandakan bahwa saya memang manusia, bukan robot. Lantas apa yang tersisa? 

Yang tersisa adalah pasrah dan menyerahkan semua kepada-Nya.

Karena saya sudah melakukan dan menyelesaikan pekerjaan dengan kemampuan terbaik saya. Saya tidak pernah sekalipun bekerja dengan prinsip "yang penting selesai". 

Setiap huruf dan kata dalam pekerjaan saya muncul dari pemikiran yang matang.

Pada akhirnya tidak ada yang betul-betul sempurna. Semua orang adalah pemula dalam pekerjaannya masing-masing pada awalnya.

Pertanyaannya, bisa kah saya bertahan dan mengalahkan semua cobaan serta hambatan yang bakal muncul ke depannya?

Semoga.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.