Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Ihwal Penggantian Nama Ciamis Menjadi Galuh: Sepenting Itukah?

Secuil pemikiran untuk wacana penggantian nama Ciamis yang nggak pernah jadi kenyataan.
penggantian-nama-ciamis
Penggantian Nama Ciamis Menjadi Galuh

Wacana penggantian nama “Ciamis” menjadi “Galuh” sepertinya bertahan cukup lama. Saya nggak tahu kapan mulainya, tapi menurut tulisan Prof. Dr. Sobana Hardjasaputra, tahun 1998 lalu Didi Ruswendi–sebagai perwakilan tokoh masyarakat saat itu–mengangkat wacana penggantian nama ini.

Setahun berikutnya Achmad Dase, dalam tulisannya “Ciamis Rawuh ka Galuh” yang dimuat di Majalah Mangle edisi Juni Tahun 2000 mengatakan hal yang senada. Sejak itu, pro kontra soal penggantian nama muncul di masyarakat. Meskipun gak pernah saya dengar langsung, sih.

Saya baru tahu ada wacana penggantian nama dari seorang teman sekitar tahun 2018 lalu. Sejak pertama mendengarnya, yang muncul di pikiran saya adalah pertanyaan:

Mengapa perlu diganti namanya? Sepenting apa, sih, ganti nama dari Ciamis ke Galuh sampai nggak pernah direalisasikan?

Usut punya usut, ternyata problem nya adalah arti nama Ciamis yang problematik dan nggak menggambarkan sejarah kota pensiunan ini. Koreksi jika saya salah soal ini, tapi yang saya tangkap sih begitu.

Artikel “Nama Galuh Begitu Indah dan Berharga, Mengapa Dulu Diganti dengan Ciamis?” yang tayang di laman ciamis.info tanggal 17 Juli 2017, menjelaskan bahwa nama Ciamis bukan berarti cai amin sebagaimana yang dipercaya oleh masyarakat selama ini.

Ciamis mengandung arti air anyir–amis dalam bahasa indonesia berarti anyir alias hanyir–yang merupakan sebuah ejekan yang muncul setelah kejadian perang besar antara Mataram dengan Kerajaan Galuh.

Lalu dijelaskan juga nama Galuh diganti oleh Bupati R.A.A Sastrawinata pada tahun 1916 karena ia enggan dianggap sebagai keturunan Galuh. FYI, Sastrawinata sendiri merupakan keturunan langsung dari Bupati Karawang.

Masih dalam artikel yang sama, Ciamis juga disebutkan sebagai penghinaan oleh Pangeran Sutawijaya, Bupati pengganti yang didatangkan oleh kolonial Belanda.

Dengan latar belakang ini, beberapa tokoh masyarakat lantas ingin mengganti nama Ciamis menjadi Galuh. Ya memang, bisa dipahami alasannya. Siapa juga yang mau nama kota kesayangannya diambil dari sebuah penghinaan? Ya, kan?

Namun apakah memang harus diganti? Ini soal lain lagi.

Penggantian nama Ciamis menjadi Galuh karena masalah artinya, dalam hemat saya, nggak terlalu penting dan buang-buang sumber daya saja. Apalagi, saya sendiri belum menemukan atau mendengar apa langkah berikutnya jika wacana penggantian nama ini berhasil diwujudkan.

Apakah dengan mengganti nama, pemerintah Ciamis akan tiba-tiba bersemangat mengatasi masalah yang ada di kota punten ini? Lalu apakah masyarakat–baik yang mendukung atau menolak penggantian nama–akan mendapatkan manfaat yang kongkrit?

Kalau alasan dibalik penggantian nama hanya sekadar demi mengenang kejayaan kerajaan Galuh, lebih baik nggak usah dilanjutkan lagi. Kerajaan Galuh memang kerjaan yang hebat, tapi itu dulu.

Apa sekarang keturunan masyarakat kerajaan Galuh sehebat itu sampai harus memaksa penggantian nama demi identitas yang lebih konkrit? Saya penasaran, memang berapa banyak sih masyarakat luar Ciamis yang tahu dan mengerti reputasi Kerajaan Galuh di masa lalu sampai takjub saat mendengar namanya?

Baca juga: Merasa Cukup dan Menurunkan Ekspektasi

Dan lagi, mengapa proses penggantian nama ini seperti nggak ada ujungnya? Dari 1998 sampai sekarang, 24 tahun wacana ini bergulir tapi seakan sulit untuk direalisasikan. Memang kendalanya apa? Katanya ini adalah aspirasi masyarakat, nya sok atuh gaskeun.

Daripada membuang-buang sumber daya untuk sesuatu yang nggak terlalu urgent seperti penggantian nama ini, lebih baik fokus membangun Kota Ungu kesayangan kita semua, ini. Kan lumayan, anggaran, waktu, dan tenaga nya bisa jadi lebih manfaat.

Misalnya ngurusin soal lalu lintas di depan Kantor Disdukcapil yang tiap weekdays selalu ramai sampai jadi nggak ramah buat pejalan kaki. Itu jalan seuprit habis oleh parkiran motor masyarakat yang datang ke capil dan mobil peenes capilnya.

Belum lagi pedagang kaki lima yang nambah heurin. Masalah ini sudah ada dari dulu dan belum pernah diatasi secara benar. Kalau pengalihan jalur dari arah Yogya dilakukan demi mengatasi ini, kurang efektif karena sampai sekarang jalan tersebut masih heurin.

Lebih baik anggaran dan tenaga nya dipakai buat bangun parkiran di dekat situ atau solusi apa lah yang bisa mengatasi masalah tersebut secara nyata dan permanen.

Contoh lain yang sering saya liat, soal taman di Jamban yang sekarang terlihat kusam dan kotor. Plus sepi seperti kuburan. Apa saat membangun taman tersebut pemerintah nggak punya strategi biar tamannya jadi lebih ramai? Atau nggak dipikirkan soal pemeliharaannya?

Kalau mengurus hal-hal yang lebih nyata dan lebih penting, sumber daya yang dikeluarkan akan lebih bermanfaat buat masyarakat.

Lagipula berapa anggaran yang diperlukan untuk mengurus penggantian nama ini sejak awal sampai selesai nanti? Khususnya anggaran soal administrasi.

Apakah nantinya kami masyarakat harus mengganti KTP, KK, dan dokumen penting lainnya? Kalau iya, berapa anggaran yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk ini?

Kan mending anggarannya dipakai buat mencari tahu kenapa hasil akhir renovasi alun-alun nggak sama dengan yang dipamerkan di baliho dulu? *eh.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.