Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Resensi Buku A Feminist Manifesto: Kecil Tapi Daging Semua Isinya

Resensi buku a Feminist Manifesto: Kecil tapi daing
a-feminist-manifesto
Resensi Buku A Feminist Manifesto
Daftar Isi

Sejak banyak orang membicarakan tentang feminisme di media sosial, saya terus menaruh perhatian padanya. Perlahan-lahan coba mengerti apa tujuan nyata dari feminisme sehingga saya bisa mengambil sikap—entah pro atau kontra—tentangnya. Jujur saja, ini merupakan hal yang baru buat saya karena dulu nggak aktif di internet.

Harus diakui, mencari tahu feminisme dari media sosial adalah keputusan yang buruk. Bagaimana tidak, media sosial adalah gudangnya opini liar netizen dan itu sukses bikin saya kebingungan. Apalagi karena tidak memiliki dasar yang kuat, saya kesulitan membedakan feminisme dan feminazi.

Kebingungan ini terus menghantui saya sampai akhirnya saya bertemu dengan sebuah buku kecil, hanya 79 halaman, yang mampu menghilangkan kabut kebingungan di pikiran saya.

Buku ini berjudul A Feminist Manifesto: kita semua harus jadi feminis, ditulis oleh penulis perempuan asal Nigeria, Chimamanda Ngozi Adichie. Terima kasih saya haturkan kepada penerbit Odise yang sudah mengalih-bahasa-kan buku ini ke bahasa Indonesia.

A Feminist Manifesto, adalah gabungan dari dua buku, yaitu We Should All Be Feminists dan Dear Ijeawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions. Dan seperti judulnya, buku kecil ini berisi manifesto—pemikiran dan pandangan—penulis tentang feminisme.

Jika kamu ingin tahu apa sebenarnya keinginan dari seorang feminis, saya sarankan sebaiknya baca buku ini.

Baca juga: Review Buku Menjadi Penulis

Ada yang bermasalah dengan budaya kita

Setelah membaca buku ini, saya yakin kita memang hidup dalam budaya kuno dengan permasalahan gender di dalamnya. Baik disadari atau tidak, dalam budaya kita wanita memang seringkali dianggap lebih rendah posisinya daripada laki-laki. Dan ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu.

Dalam ribuan tahun pula kita melihat dominasi laki-laki dalam kehidupan sebagai hal yang normal, dan memang sudah seharusnya begitu. Akibatnya, sedikit sekali ruang untuk perempuan di kehidupan sosial kita.

Contohnya waktu SMA dulu saya pernah punya Ketua Murid (KM) perempuan. Saat ada guru yang mengetahui hal ini, biasanya kami akan mendapatkan sindiran “di kelas ini nggak ada laki-lakinya, ya?” kalau sudah begitu kami para laki-laki hanya diam saja.

Padahal yang jadi KM memang punya kemampuan mengorganisasi kelas lebih baik daripada laki-laki yang ada di kelas saya.

Kita juga seringkali memberikan label yang berbeda pada laki-laki dan perempuan yang mengerjakan satu aktivitas yang sama.

Misalnya, saat laki-laki sekolah tinggi maka itu dianggap sebagai sebuah keharusan dan kepanjangan langkah. Sementara perempuan yang sekolah tinggi justru dibilang hanya mempersulit kehidupannya.

Begitu juga saat ada perempuan yang punya duit lebih banyak. Saat Syahrini masih jomblo, kawan saya sering bilang kalau ia membuat laki-laki minder dengan kekayaannya. Sementara laki-laki, tak peduli latar belakang dan kemampuannya, dituntut menjadi kaya.

Dari buku ini juga saya menyadari bahwa budaya kita membuat anak laki-laki kehilangan kemanusiaannya. Kalau kamu laki-laki, pasti pernah mendapat wejangan dari orang tua agar menjadi laki-laki yang kuat, tangguh, pintar, bertanggung jawab, bisa melakukan banyak hal, jangan menangis, jangan sedih, jangan lembek, jangan rusak, jangan merasa lelah.

Coba pikirkan lagi, apa bedanya kita dengan robot kalau begitu?

Dengan pola asuh yang seperti itu, kita menjadi—meminjam istilah yang digunakan Adichie—manusia dengan ego yang sangat rapuh. Kita dibesarkan untuk mempunyai ego super tinggi, akibatnya saat gagal menjadi laki-laki yang seharusnya kita pun malah hancur.

Di sini lah kemudian budaya mengajarkan kepada perempuan untuk menjadi lebih “kecil” daripada laki-laki. Misalnya dengan mengatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah atau mendapatkan jabatan yang tinggi agar tidak sulit mendapatkan suami nantinya.

Dalam buku ini, ada banyak sekali contoh yang membuktikan budaya kita memang bermasalah, terutama dengan masalah gender. Terlalu banyak kalau harus ditulis satu per satu di sini.

Lima belas anjuran yang harus kamu ketahui sebelum menjadi orang tua

cover_depan_a_feminist_manifesto
cover_belakang_a_feminist_manifesto

Buku ini berisi surat dari Adichie kepada seorang sahabatnya. Surat ini dibat karena sahabatnya ingin diajari cara membesarkan anak perempuan menjadi feminis. Adichie kemudian membalasnya dengan memberikan lima belas anjuran yang bisa diikuti oleh sahabatnya.

Saya menyetujui semua anjuran Adhicie, namun ada empat anjuran penting yang harus kamu tahu. Karena itu akan saya tuliskan intinya di sini.

Pertama, anjuran yang ketiga tentang mengajari anak bahwa gagasan “peran gender” itu omong kosong belaka. Yang intinya menyampaikan bahwa seorang anak bisa melakukan apa saja tanpa memedulikan gendernya.

Misalnya, seorang anak laki-laki boleh saja punya hobi memasak sejak kecil dan anak perempuan boleh tidak mempunyai hobi memasak.

Kedua, anjuran kelima tentang mengajari anak untuk membaca dan mencintai buku agar anak bisa memahami serta mempertanyakan dunia, mengekspresikan diri dan meraih apapun yang ia inginkan (cita-cita).

Ketiga, anjuran keenaam tentang mengajari anak untuk mempertanyakan bahasa karena bahasa adalah gudang prasangka, keyakinan, dan asumsi.

Adichie ingin anak-anak tidak terjebak dalam suatu keburukan yang muncul dari permainan bahasa.

Terakhir, anjuran kelima belas tentang membiasakan anak dengan perbedaan. Dengan begitu, kita bisa membuat anak-anak kita terhindar dari budaya rasisme dan diskriminasi.

Sekali lagi, kita memang hidup dalam sebuah budaya kuno yang berusia ribuan tahun. Namun seperti yang Adichie yakini bahwa “budaya tidak membentuk manusia. Manusialah yang membentuk budaya.

Jadi jika kemanusiaan penuh wanita bukan budaya kita, maka kita bisa dan harus menjadikannya budaya kita.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.