Punya banyak website dan blog tapi nggak punya waktu buat bikin artikelnya? Sini, biar saya bantu

Daftar Budaya Jepang yang Bisa Kamu Temukan di Anime Barakamon

Mengenal 6 kebudayaan Jepang melalui anime Barakamon
budaya-di-anime-barakamon

Barakamon, dalam komunitas pecinta anime, berada di posisi atas sebagai salah satu anime slice of life terbaik. Satusuki Yoshino, penulis ceritanya, jago banget bisa membuat premis anak kota pindah ke desa jadi terasa spesial.

Meski mengambil latar pedesaan, ceritanya nggak membosankan sama sekali. Bahkan ada banyak pembelajaran yang dikemas secara menarik sehingga lebih seru. Misalnya pembelajaran soal budaya Jepang.

Handa Seishu, tokoh utamanya, adalah seorang kaligrafer yang sudah meraih kesuksesan di usia 23 tahun. Nggak banyak kaligrafer muda yang bisa punya pencapaian mirip Handa. Bisa dibilang dia ini seorang jenius di bidang kaligrafi.

Baca juga: Review Anime Violet Evergarden

Sayang, kesuksesan bikin Handa besar kepala. Dia nggak terima ketika ada kolektor kaligrafi yang mengatakan bahwa karyanya nggak punya jati diri dan ciri khas. Gara-gara perkataannya itu, Handa sampai melayangkan bogem mentah ke kolekter tersebut.

Ujungnya, dia disuruh menenangkan diri ke Desa Nanatsutake di Pulau Goto oleh ayahnya. Pulau Goto sendiri lokasinya ada di ujung selatan Jepang, jaraknya sekitar 1.332 kilometer dari Tokyo. Singkatnya, Handa pindah ke desa yang jauh dari mana-mana.

Daftar Isi

Kebudayaan Jepang yang Bisa Kamu Temukan di Anime Barakamon

Sebenarnya Barakamon menyoroti bagaimana perjalanan Handa belajar menemukan jati dirinya sendiri. Tetapi, kalau dilihat lebih jauh lagi kehidupan Handa di Pulau Goto juga menunjukkan kebudayaan masyarakat Jepang. Karena pengertian budaya kan sangat luas, nggak sebatas karya seni saja.

Budaya berkaitan erat dengan cara berpikir, bahasa, interaksi dalam masyarakat, cara makan, cara berkomunikasi, kebiasaan bekerja atau mencari uang, dan masih banyak lagi. Nah, anime Barakamon ini menunjukkan beberapa kebudayaan Jepang.

Home visit dari tetangga

home-visit

Di akhir episode 1, Handa yang baru pulang usai melihat sunset bersama bocil akamsi bernama Naru, terkejut melihat banyak orang datang ke rumah barunya. Tua dan muda, guru sampai kepala desa, semuanya ada.

Mereka datang untuk membantu Handa beres-beres di rumah sambil memperkenalkan diri. Buat yang biasa hidup di kota, perlakuan dari penduduk desa agak mengagetkan Handa. Tapi ya sebagai manusia, dia bisa merasakan ketulusan mereka.

Budaya seperti ini amat sangat jarang saya temukan di anime lain. Padahal ada banyak banget cerita yang premisnya orang pindah ke desa, tapi baru di Barakamon aja yang menunjukkan kehidupan pedesaan sedalam ini.

Mochimaki: “saweran” dengan kue mochi

mochimaki

Kalau kamu lumayan sering datang ke resepsi pernikahan adat Sunda, kamu pasti nggak asing lagi dengan konsep saweran. Buat yang belum tahu, saweran merupakan kegiatan melempar koin, beras, irisan kunyit, permen, dan juga lipatan daun sirih oleh kedua mempelai dalam pernikahan adat Sunda.

Saweran dianggap sebagai rasa syukur kepada Tuhan yang dilakukan dengan cara membagikan “rezeki” kepada orang lain. Nah, di Jepang ternyata ada juga budaya yang mirip seperti saweran, namanya Mochimaki atau Mochinage.

Berbeda dengan saweran adat Sunda yang dilakukan saat resepsi pernikahan, Mochimaki biasanya dilakukan saat orang Jepang mau membangun rumah. Biasanya keluarga yang membangun rumah akan melemparkan mochi dari atas kerangka rumah. Nah di bawah, masyarakat sekitar sudah berkumpul sambil bersiap-siap untuk “menyambut mochi” dengan berbagai jurus dan strategi.

Tujuan di balik tradisi ini adalah membagikan kebahagiaan pada tetangga sekaligus membangun keakraban di antara anggota masyarakat. Dalam anime Barakamon, tradisi ini nggak dilakukan saat membangun rumah, tapi setelah ada keluarga yang membangun kapal laut.

Menamai Kapal Laut

Di episode 4, Handa bertemu dengan pemilik kapal yang sebelumnya membagi-bagikan mochi. Handa dipaksa menulis nama “Yuigadokuson-Maru” dengan huruf kanji. Dalam cerita, momen ini jadi pembelajaran baru buat Handa dalam perjalanan menemukan jati dirinya.

Ada satu hal yang menarik perhatian saya di scene ini, ketika Handa ngobrol dengan anak si pemilik kapal dia bilang kurang lebih begini “kalau ngikutin tradisi, nama kapalnya berarti Miwamaru, ya?”

Loh berarti menamai kapal laut ini sudah jadi tradisi di Jepang? Usut punya usut, tradisi ini ternyata sudah ada sejak abad ke-16. Waktu itu, pasukan laut daimyo Toyotomi Hideyoshi memberikan nama “Nippon Maru” pada kapal andalan mereka.

Sejak itu, tradisi memberikan nama ke kapal laut masih berlanjut sampai sekarang. Uniknya lagi, setiap nama pasti ditambahkan kata “Maru” di belakangnya. Konon, kata “Maru” ini punya beberapa arti:

  1. Pelindung kapal
  2. Objek yang sangat dicintai
  3. Merepresentasikan kapal yang lengkap, bak memiliki dunianya sendiri
  4. Diambil dari nama makhluk dari surga “Hakudo Maru” yang turun ke bumi untuk mengajarkan cara membuat kapal ke masyarakat Jepang.
  5. Berarti juga lingkaran sebagai representasi dari perjalanan berangkat-mengarungi lautan-dan pulang dengan selamat.

Bilang “Ebisu” Saat Mancing

ebisu

Masuk ke episode 7, Handa pergi memancing bersama teman kerja dan rivalnya yang datang ke desa Nanatsutake. Tujuannya biar mereka bisa menikmati hari terakhir liburan di daerah pedesaan.

Kalau dibandingkan, cara memancing di Pulau Goto sedikit berbeda dari kegiatan mancing yang biasanya. Pertama, mata pancing yang dipake lebih dari 3 dalam satu joran. Kedua, di bagian ujung senar pancingnya ada semacam keranjang buat menyimpan umpan.

Yang terakhir, mereka bilang “Ebisu” saat melemparkan joran pancingan. Rupanya, dalam kepercayaan masyarakat Jepang, Ebisu termasuk satu dari tujuh Dewa Keberuntungan. Nggak cuma itu, Ebisu juga jadi dewa pelindung nelayan dan pedagang.

Sosok Dewa Ebisu sering sering digambarkan sebagai seorang pria berbadan gemuk, berjanggut, memegang pancingan di tangan kanan dan ikan laut besar di tangan kiri.

Festival Obon

festival-obon

Ziarah atau datang ke makam leluhur yang sudah meninggal rupanya nggak hanya ada di agama samawi saja. Di masyarakat Jepang yang budayanya sangat dipengaruhi oleh agama shinto juga ada, lho. Festival Obon, namanya.

Dalam anime Barakamon, Festival Obon digambarkan sebagai kegiatan datang ke makam keluarga di sore hari. Di makam, Handa dan Naru menyalakan lentera yang jadi penanda waktu kunjungan mereka. Artinya, mereka baru bisa pergi kalau api lenteranya sudah padam (sekitar 2 jam).

Dalam rentang waktu itu, orang-orang saling mengunjungi makam keluarga satu sama lain untuk mengirimkan doa. Apalagi kalau si pengunjung dan yang sudah meninggal punya hubungan dekat.

Di tengah-tengah perayaan Festival Obon, ada semacam tarian khusus persembahan pada arwah leluhur yang disebut “Onde”. Para penari Onde memakai kostum sambil menabuh alat musik mirip kendang dengan batang kayu kecil.

Menariknya lagi, karena waktu kunjungan yang cukup lama, peziarah boleh menyalakan kembang api atau petasan untuk membunuh rasa bosan sambil menunggu api lenteranya padam.

Festival (Matsuri)

matsuri

Sama seperti anime slice of life lainnya, dalam Barakamon juga ada scene festival. Menurut website japan.travel, matsuri itu semacam cara bagi masyarakat di suatu daerah untuk berkumpul dan bergembira. Jadi pasti ada banyak jenis “Matsuri” yang bisa ditemukan di Jepang sana.

Nah dalam anime Barakamon, festivalnya disebut dengan “Tonme Matsuri”. Di sini Handa, Naru, dan Hina berkeliling sambil mencoba berbagai macam permainan yang ada. Seperti menangkap ikan koi dan kompetisi basket sederhana.

Selain itu, ada juga pertunjukkan musik drum di atas panggung, stan-stan makanan, dan perayaan kembang api sekitar jam 9 malam.

Content Writer, Penjaga Toko Buku Daring, Wibu Full Time.